Merajut Impian

Awal sebuah episode impian

Selalu butuh perjuangan untuk mewujudkan sebuah impian, apapun jenis impian yang kita miliki. Dan sebuah impian pulalah yang senantiasa mengobarkan api semangat untuk terus bergerak tatkala nyalanya mulai redup. Tatkala ujian dan cobaan datang menghadang seolah tanpa henti.

Mencoba meneladani system pendidikan ala Rasulullah yang mengajarkan Al Qur’an sebelum ilmu-ilmu yang lain, saya dan suami mencoba merajut impian untuk mengantarkan putra kami menjadi seorang hafidz. Apalah daya, saya dan suami bukan seorang hafidz yang bisa menjadi guru terbaik baginya, kami kirimkan dia ke Rumah Tahfidz di jogja. Ya, jogja menjadi pilihan kami. Selain karena banyak family yang tinggal dikota tersebut, juga karena disana terdapat banyak pilihan sekolahan yang ditawarkan.

Hambatan adalah pengokoh bukan penghalang impian

Tantangan pertama yang harus kami hadapi adalah jarak yang membentang antara kami dan putra kami. Jogja-Purworejo sejatinya bukanlah jarak yang jauh, tetapi untuk putra kami yang baru berusia 7 tahun saya rasa ini akan jadi sebuah masalah.

Bagaimana pola asuh dan komunikasi yang harus kami terapkan. Bagaimana menjaga motivasinya agar ia senantiasa bersemangat menjalani hari-harinya. Dan bagaimana caranya agar ia tidak merasa terbuang. Dan pertanyaan-pertanyaan itulah yang mengantarkan saya melangkahkan kaki menuju Pusat Psikologi Terapan UGM untuk mencoba mencari jawabannya.

Tantangan kedua dan paling berat terkait dengan financial. Selama ini perusahaan kami masih menggunakan pembiayaan system ribawi. Sementara disisi lain, sebuah keniscayaan kami menginginkan hafalan Al Qur’an tersimpan dalam dadanya jika masih tercampur dengan hal-hal yang di haramkan. Jika hafalannya tidak tersimpan didalam dadanya, jangan pernah mengharapkan Al Qur’an akan ia terjemahkan dalam kehidupannya.

 “Barangsiapa yang membaca Al Qur’an dan mengamalkan isinya, berarti ia telah mengenakan mahkota kepada kedua orang tuanya pada hari kiamat yang sinarnya lebih baik dari sinar matahari di dunia. Jika kalian menemui sinar seperti ini, kalian tidak akan menyangka siapa yang bisa melakukannya”  (HR Abu Dawud dan Ahmad)  

Tak ada jalan lain, kami harus hijrah. Ya, hijrah dari system ribawi tentunya.

Semua halangan yang saya temui ternyata memberi pelajaran hidup yang bisa saya petik. Ternyata dalam meraih apa yang kita impikan, selain terus berusaha, pun tak cukup dengan sujud-sujud panjang di setiap malam, untaian doa dan tangis mengiba untuk diberi kekuatan dan jalanNya. Masih banyak hal yang diperlukan agar kaki ini tetap berdiri dan dapat meneruskan langkah. Rangkaian kesabaran yang tiada batas. Keyakinan akan ketetapanNya dan yang dipilihkan-Nya adalah pilihan yang terbaik, “Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku”.* Dan tak lupa ilmu tentunya, ilmu yang akan menjadi penerang dan penuntun agar tidak tersesat dan salah langkah.

Hari-hari merajut impian baru saja dimulai. Saya tidak tahu di penghujung jalan nanti apa yang akan saya temukan. Mudah-mudahan sesuatu yang membahagiakan. Amin.

*Penggalan hadist qudsi dari Abu Hurairah RA diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim

4 pemikiran pada “Merajut Impian

Tinggalkan Balasan ke Ikakoentjoro Batalkan balasan