Jum’at Mubarok!
Apa yang teman-teman bayangkan tatkala saya katakan,”Anak saya sekolah jauh dari keluarga. Hidup mandiri di luar kota. Usianya baru 7 tahun dan ia baru duduk di kelas 1 SD.”
Saat saya bercerita tentang anak saya pada orang yang baru saya kenal ataupun sahabat yang lama tak berjumpa, mereka selalu berkata,”Kok dirimu tatag menyekolahkan anak jauh-jauh. Padahal usianya masih anak-anak kan?”
Tatag dalam bahasa Indonesia berarti perpaduan antara tega dan kekuatan hati alias tegar kali ya. Tapi kayaknya ndak pas juga 😆
Ya, impian sering mematahkan kata ‘tak mungkin!’ Bagi saya anak laki-laki harus kuat. Kuat mental dan kuat ujian. Ia tidak boleh cengeng dan menjadi pecundang saat menghadapi apapun permasalahan yang ada di depan matanya karena ia calon pemimpin. Pemimpin dalam skala kecil, kepala keluarga maupun dalam skala lebih luas. Tanggungjawab besar untuk menyiapkan pemimpin ada dalam pundak saya sebagai seorang ibu. Maka, rawe-rawe rantas, malang-malang putung, maju tak gentar saya pun mengajari bagaimana ia harus belajar dari kehidupan ini.
Impian sering mematahkan kata tak mungkin!
Sebuah perjuangan tak punya cerita manis jika tak dibumbui dengan peluh dan darah perjuangan. Saya pun demikian. Entoh pada akhirnya anak saya tumbuh menjadi anak yang lebih dewasa, itu bonus dari perjuangan.
Beberapa waktu yang lalu saat saudara suami yang tinggal di Blitar punya hajat, saya datang dan menginap ditempat mertua. Pertanyaan rutin yang saya dapat dari mertua,”Gimana kabar anakmu?” Standar saya jawab,”Baik, Alhamdulillah.” Pertanyaan ternyata tak berhenti cukup disitu, tapi berlanjut dengan pertanyaan susulan,”Apakah kamu tetap bersikukuh menyekolahkan anakmu di Jogja.” Dueng, pertanyaan ini lagi. Mana mertua yang bertanya.
“Sekarang dia jauh lebih dewasa, Pak. Malah akhir-akhir ini dia lebih pandai mengatur uang jajannya. Masih sempat menyisihkan 1/3 uang jajannya untuk menabung. Yah, walaupun pada akhirnya uang itu dia belikan mainan, toh ia belajar mendapatkan sesuatu yang ia inginkan dari hasil jerih payahnya sendiri.”
***
Seperti biasa, setiap akhir pekan Fathiin anak saya pulang ke rumah. Semua worksheet selama satu minggu ia bawa pulang. Lembar demi lembar saya cek, saya lihat nilai dan pemahamannya. Secara keseluruhan nilainya cukup. Terus terang agak sedih, apalagi ada beberapa bagian yang saya lihat dia tidak paham maknanya. Saya jadi merasa bersalah karena tidak bisa mendampinginya belajar dan entah kenapa saya jadi bimbang. Teringat percakapan saya dengan mertua. Apakah saya harus mundur? T_T
Malam saat saya sendiri, saat semua tertidur lelap, saya tak bisa tidur. Mulai menimbang-nimbang antara nilai matematikanya dengan kemampuannya mengelola uang. Nilai pelajaran bahasanya dengan dengan shalat 5 waktunya yang tak pernah bolong. Dan saya pun ingat sebuah percakapan antara saya dan dia beberapa waktu lalu yang membuat saya paham bahwa ia melakukan kebaikkan karena kesadarannya sendiri, bukan hanya karena perintah seseorang. Waktu itu dia berkata,”Mi, rajin belajar itu kewajibannya mas Fathiin ya. Trus, kalau helikopter remot tuh haknya mas Fathiin karena rajin belajarkan?”
Dan pada akhirnya saya putuskan untuk TIDAK MENYERAH!!!! Maju terus nak, hidup memang kadang terasa pahit. Satu hal yang harus kamu ingat, sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwasannya orang-orang hebat biasa mengunyah kepahitan hidup seperti memakan nasi. Selamat beruang, Nak!
.
.
Note:
Ini buka curhat kawan! Hanya ingin berbagi pengalaman dan mudah-mudahan bermanfaat. Hargai kemampuan anak tak hanya dari nilai-nilai akademisnya 😉